Lapindo dan segala permasalahannya merupakan nuansa kelam negeri ini. Di saat air menjadi api bagi segala tanah yang menyelubunginya. Spontan telah berubah menjadi luapan amarah rakyat bagi penguasa tanah air nusantara.
Lambat, namun pasti. Tenggelam adalah jawaban bagi sebuah peradaban. Jauh di luar sana masih saja kita menapaki jejak ketidakpastian. Sahabat yang berangkat dari kota lumpur panas, mulai menyibakkan tabirnya di atas puing-puing senda gurau.
Langkah demi langkah, jelas terlihat sebuah harapan baru. Harapan akan kemerdekaan yang sesungguhnya, harapan keluar dari tirani, dan harapan untuk sang kekasih hati.
Dia yang berasal dari Sidoarjo, sahabat pergerakan. Menjalani setiap waktu, dengan kegelisahan dan pertarungan eksistensi.
Di saat aku masih menapaki langit kelam, saat itu juga dia berubah menjadi busung di seberang jalan. Melawan rongrongan harga minyak yang melambung, dia berteriak dengan perut kosong dan alas lusuh.
Di depan kampus tercinta kita selama ini. Sahabatku telah membuktikan bagaimana cara berjuang terhadap ketidakadilan. Melawan setiap jenuh dari penindasan yang terus menerus.
Sudah berapa hari ini, tidak ada arti kuliah lagi di otaknya. Dia telah tersenyum berada di gubuk kecil yang terbuat dari kain, dan di penuhi dengan semangat perubahan.
Begitu besar kasih sayangnya kepada bumi nusantara, telah ia buktikan dengan pengorbanannya. Tanpa rasa mengenal lapar, haus, sakit, terus saja dia melakukan aksi mogok makan.
Hanya rumah sakit yang menghentikannya kala itu. Rumah sakit menghentikan segala perjuangannya, dan runtuhnya bendera minyak seakan menjadi cahaya bagi sebuah perjuangan.
Rabu, 29 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar