Ruangan terasa asing di sebuah rumah tua. Rumah dengan ventilasi yang hanya selebar bunga karang. Sudut ruangan nampak kelam di makan usia. Dinding-dindingnya yang telah berlumut, dengan jajaran puing-puing sampah yang berserakan di lantai.
Aku meronta kesakitan. Rantai yang menyelubungi tanganku, seakan bertambah kuat, kala kucoba lepaskan ikatannya.
Dimana aku kini. Teriakanku hanya menjadi rongrongan bisu. Tanpa ada yang mendengar. Tanpa ada yang tahu.
Tiba-tiba datang seseorang. Dia berparas lusuh, bertopi, tubuhnya yang tegap seolah menyembunyikan kerutan dari usianya yang sudah tua. Dia berjalan mendekatiku, dan terus mendekatiku, sampai hanya kakinya yang tak beralas ada di pandanganku.
”Auch, tolong, ampun, auch, ampuunn!”. ucapku saat dia menyiksaku. Tanpa sebab yang jelas aku menjadi bulan-bulanan dari kepalan tangannya. Aku di seret, di tendang, di pukul sampai tubuhku tak berdaya.
”Apa salahku? apa dosaku? Kenapa kau siksa aku?.” Gerutuku dalam hati, karena mulutku sudah tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Aku di seretnya keluar ruangan. Di tarik ke atas langit-langit rumah. Nampak jelas oleh kedua mataku, dia mengeluarkan sesuatu dari balik saku celananya.
Wajahnya yang seram seakan hendak menikamku. Dia membalikkan tubuh krempengku yang telanjang dada. Aku tak mampu lagi menatap wajahnya.
”Auuuch!”. Kala dia menyayat kulitku dari atas ke bawah dari punggungku.
”Auuuuch, Ampunnn, Auuuuuuuch!”. Kedua kalinya dia menyayatku.
”Auuch!”. Sayatan yang ketiga kalinya, aku terbangun dari tidur siangku. Kemudian aku terdiam, lalu aku beranjak keluar dari rumah itu. Rumah tersebut adalah rumah tua tempat aku bekerja, rumah yang terletak di pulau Penjaliran.
Kemudian aku duduk di atas bongkahan kayu di depan rumah. Tubuhku masih bercucuran keringat. Rasa sakit di punggung jelas masih ada, namun luka sayatan itu tidak ada. Hanya rasa sakit saja yang masih terasa.
Senin, 20 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar